“Dan berserulah kepada manusia untuk [mengerjakan] haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” [QS. Al-Haj: 27].
GONTB – “Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarikala laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk. La syarika laka.”
[Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kemuliaan, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi- Mu].
PERJALANAN ibadah haji dikatakan juga perjalanan untuk memenuhi panggilan Nabi Ibrahim atas perintah Allah [QS. Al-Hajj (22): 27]. Panggilan itu diteruskan oleh Nabi kita Muhammad SAW, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkanmu untuk melaksanakan ibadah haji. Kalian harus melaksanakannya,” [HR. Muslim].
Mengingat beratnya ibadah ini dan terbatasnya medan haji, kewajiban itu dibatasi hanya satu kali dalam seumur hidup. Apabila seseorang melakukannya lebih dari satu kali, maka sifat ibadah itu menduduki hukum sunat.
Seseorang yang bersiap pergi haji, di samping menghindari ketergantungan keuangan kepada orang lain [kesiapan material], seyogianya juga telah mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah haji dan memahami persoalan-persoalan penting secara mendalam [kesiapan spritual].
Ia harus menetapkan dalam hatinya bahwa tujuan ibadah ini semata-mata memperoleh kebahagiaan Ilahiyah serta anugerah yang akan diraihnya di Hari Kemudian. Tidak pada tempatnya seorang haji memiliki motif -motif lain, misalnya mencari kemasyhuran, bangga diri, dan menempatkan dirinya pada jalan yang buruk.
Allah telah berfirman dalam QS Huud (11): 15-16, “Bahwa orang yang hanya mengharapkan dunia dan perhisannya-dari hajinya-maka Allah hanya akan memberi kekayaan dunia. Dan, mereka tak akan mendapatkan apa-apa di akhirat.”
Kita harus menempatkan perjalanan haji sebagai panggilan ketaqwaan yang diharapkan setelah pulang haji menjadi taqwa dalam cara hidupnya. Dan cara hidup itu, kita pahami sekarang ini adalah kebuyaan.
Pembudayaan taqwa itu menjadi relevan kita angkat untuk mendorong terciptanya situasi kemasyarakatan kita yang lebih bermoral. Membudayakan berarti dimulai dari kesadaran dan pemahaman kita masing-masing.
Budaya taqwa tidak bisa dipaksakan terhadap siapa pun, melainkan hanya dapat dimasyarakatkan agar hidup dan tumbuh subur dalam masyarakat, menjadi pandangan yang dihayati dalam sikap dan perilaku. Intinya adalah bersikap dan berakhlak mulia.
Ketaqwaan sebagai ajaran dan cita-cita perlu kita kembangkan secara konsisten, dan para hujjaj [orang yang berhaji] sebagai lapisan masyarakat yang relatif tergolong lebih mampu dari yang lain tentunya diharapkan tampil sebagai pelopornya. Yaitu, mempelopori tradisi-tradisi mulia di tengah-tengah masyarakatnya.
Format pergerakannya telah diajarkan oleh Al-Qur’an yaitu, “ta’awanu ‘alal birri wat-taqwa” [QS. Al-Maidah (5): 2] mendorong terciptanya iklim kerja sama di atas dasar kebaikan dan taqwa, sehingga kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi berjalan dengan lebih baik, penuh dengan nuansa kejujuran, keadilan, dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Wallahu ‘alam bish shawab.
Referensi:
Hidup adalah Surga, Republika, 2002